Tuesday, November 26, 2019

Demi Sebongkah Berlian atau Sesuap Nasi? TKI Bertaruh Nyawa di Negeri Seberang



Gambar: VOA Indonesia

Tulisan ini saya buat karena saya sangat terganggu dengan berita di media online Kompas, bunyi beritanya sangat menyayat hati. Selama 11 Bulan, 104 TKI Ilegal asal NTT meninggal di Malaysia. Angka itu bukan angka yang kecil, melainkan jumlahnya ratusan dan hanya dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Ada apa? mengapa itu bisa terjadi, tentu butuh investigasi lebih menyeluruh. Kompas pun tidak secara detail menjelaskan mengapa ratusan orang meninggal dalam kurun waktu tersebut? hanya menjelaskan beberapa orang yang terkena penyakit, lalu meninggal. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan orang yang meninggal itu? apakah mendapatkan hak-haknya? besar kemungkinan tidak, karena mereka adalah TKI ilegal yang tidak memiliki dokumen resmi ketenagakerjaan.

Menurut data dari CNN Indonesia, pada akhir tahun 2018, jumlah TKI yang bekerja di luar negeri mencapai 3,65 juta orang (naik dari tahun sebelumnya yakni sebanyak 3,55 juta orang). Angka itu baru data dari TKI yang memiliki kelengkapan dokumen atau resmi, bagaimana dengan yang tidak tercatat? mungkin angka tersebut bisa bertambah banyak.
Menurut data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), ada sekitar 70 persen TKI bekerja di wilayah Asia Pasifik, dengan porsi terbesar di Malaysia, Hongkon, Taiwan, dan Singapura. Sementara itu sisanya bekerja di Timur Tengah dan Afrika, dengan porsi terbesar di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Yordania.

Data TKI tersebut bukan sekedar angka, namun ada nyawa berharga yang harus di lindungi hak nya dalam bekerja di negeri orang. Sudah selayaknya pemerintah terkait dan juga provinsi saling bekerja sama melindungi TKI tersebut. Sepertinya tidak bisa hanya pemerintah pusat saja yang bertanggung jawab, peran daerah sangat di butuhkan untuk mengawasi TKI tersebut, terlebih mengurangi TKI ilegal yang tidak memiliki keterampilan, yang sangat rawan di tindas dan di perlakukan sewenang-wenang.
Angka sebanyak 104 yang tewas di negeri orang tersebut begitu banyak, seperti korban perang yang meninggal sia-sia tanpa mendapatkan hak dan perlindungan.
Turut berduka cita untuk orang-orang tersebut, yang mungkin berjuang dengan bertaruh nyawa demi membantu keluarganya yang tidak bisa hidup layak di negeri sendiri.
Salam.


Sumber bacaan:

Saturday, November 23, 2019

Politik Dalam Pusaran Media; proporsional atau Berlebihan?

politik dalam pusaran media
Entah mengapa saya melihat bahwa politik tidak pernah selesai di negeri ini, Dimulai dengan Pilkada DKI Jakarta, kemudian di sambung lagi dengan pemilihan Presiden 2019 yang juga telah usai. Namun riuh dan semaraknya tidak pernah selasai bahkan hingga kini, bahkan semakin menjadi-jadi saja. beberapa peristiwa politik seperti acara-acara kepartaian, pemilihan ketua parta, hari jadi partai dan lain sebagaimya terus memenuhi lini massa dan berita-berita di televisi maupun di media online, apa lagi media sosial. Bahkan beberapa tokoh partai sudah berbicara mengenai pemilihan presiden 2024, luar biasa! saya sampai geleng-geleng kepala. 

Media massa pun turut serta membuat semakin sumpek nya berita-berita nasional, mungkin 80 persen acara atau berita mengenai politik. Saya tidak tahu apakah demi mengejar rating tv, atau memang kita yang masih tertarik dengan berita-berita politik yang sebagian besar hanya mengenai konflik, kekuasaan dan kepentingan mereka sendiri.

saya pribadi juga memiliki ketertarikan di dalam masalah politik, karena bagaimana pun kita tidak bisa lepas dari yang namanya politik. Kepentingan kita, hak-hak kita, semua masuk dalam lingkarang politik. Namun jika semua hal tentang politik, kekuasaan, dan kepentingan partai politik, lama-kelamaan muak juga kita melihatnya, seperti saya yang tadinya suka dengan politik menjadi muak karena sudah over dosis. Di tahun 2016-2018 ada 22 juta warga negara Indonesia terkena kelaparan (menurut laporan Asian Development Bank/ADB), bangunan sekolah runtuh, masalah stunting atau tinggi badan yang rendah. Mengapa bukan hal-hal seperti itu yang porsi nya lebih besar di bahas oleh petinggi politik dan para pihak yang terkait, bahkan pers juga seharusnya tidak melulu mengenai politik dalam penayangan beritanya.

Ada baiknya talk show di televisi juga membahas mendalam tentang bagaimana caranya meningkatkan sumber daya manusia dan bangunan sekolah yang banyak runtuh dan menurut saya sudah tidak sesuai standar lagi untuk tempat belajar. 
Politik itu menarik dan penting bagi kita, dan kita wajib peduli, tapi jangan sampai politik hanya sebagai diskusi pepesan kosong tentang kekuasaan dan kepentingan golongan saja, terlebih di media massa dan juga di media sosial. Jangan sampai banyak orang akan antipati terhadap politik, karena seperti pepesan kosong tiada manfaat bagi banyak orang
Salam.

referensi:



Wednesday, November 20, 2019

Monas Riwayatmu Kini

Sudah dua kali saya berkunjung ke Monumen Nasional atau Monas, suasana yang lapang dan tenang membuat saya kembali ke tempat ini hanya untuk melepas kepenatan ibukota, sembari sesekali membaca bacaan untuk menambah pengetahuan. Berkunjung ke Monas di tengah hari bolong, membuat panas terik saya rasakan sembari berjalan-jalan menuju Monas yang lumayan jauh dari pintu gerbang. Sengaja tidak menggunakan skuter listrik yang tersedia, atau "odong-odong" yang di sediakan untuk pengunjung menuju ke Monas yang berada di tengah-tengah lokas ini, saya memilih untuk berjalan kaki sembari berolahraga untuk menjaga kesehatan.
Jakarta dari puncak Monas (foto pribadi)
Tidak lupa saya pun menyempatkan diri untuk naik ke puncak Monas, dan bergabung dengan para wisatawan lainnya. Suasanya di hari kerja mungkin juga membuat suasana tidak begitu padat. Saya melihat beberapa kelompok wisatawan lokal yang kebanyakan dari daerah, yang mungkin belum pernah melihat Monas secara langsung. Sesekali mereka berfoto ria, dan beberapa ber canda gurau dengan kelompoknya. Ada juga kelompok Taman Kanak-kanak (TK) atau Play Group yang juga berkunjung ke tempat ini, yang tentu saja di awasi oleh guru mereka.

Seorang anak sedang menggunakan teropong di puncak Monas (foto pribadi)
Suasana memang cukup membosankan, jika berjalan sendiri atau sekedar melihat-lihat lokasi di sekitar Monas, yang hanya nampak gedung-gedung dan beton-beton pencakar langit. Kedepennya mungkin perlu diadakan penghijauan di sekitaran Monas, agar tidak terlalu kering dan gersang apalagi berada di tengah Jakarta yang jarang sekali ada wilayah yang rimbun atau hijau oleh pepohonan.
Wisatawan Monas sedang anteri sambil duduk-duduk untuk menunggu giliran naik ke puncak Monas (foto pribadi).
Kegiatan-kegiatan kebudayaan atau atraksi-atraksi juga perlu di perbanyak, agar terlihat banyak kegiatan dan menambah daya tarik pengunjung.untuk datang ke Monas yang menurut saya jarang ada atraksi-atraksi budaya untuk menambah pengetahuan pengunjung Monas akan budaya lokal Indonesia.
Rombongan tour anak Play Group sedang anteri naik "odong-odong" Monas (foto probadi).
Semoga ke depan Monas lebih hidup lagi dan lebih rimbun oleh pepohonan hijau, sehingga membuat suasana lebih sejuk dan pengunjungpun semakin ramai.
Salam.

Thursday, February 14, 2019

Anomali Partai Solidaritas Indonesia

Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia, Tsamara Amany. Gambar: Tribunenews.com
Tulisan ini saya buat setelah saya membaca sebuah artikel yang membahas Partai Solidaritas Indonesia selanjutnya saya sebut "PSI" sebagai partai baru yang menawarkan pembaruan dalam sistem perpolitikan di Indonesia, penulisnya juga mempertanyakan apakah benar PSI adalah benar-benar mengusung pembaharuan di dalam perpolitikan Indonesia.

Partai Solidaritas Indonesia kini sedang ramai di perbincangkan di berbagai media, mungkin bisa disebut sebagai "media darling" di beberapa arus utama media dan sosial media. Selain karena partai baru yang mengusung pembaruan, partai ini juga sempat memunculkan ide-ide yang cukup kontroversial di kancah perpolitikan Indonesia, sebut saja salah satu pidato Ketua 'PSI" Grace Natalie yang mencetuskan ide larangan berpoligami dan juga larangan mengenai perda agama, dimana hukum yang mengatur kehidupan bersama harus didasarkan pada prinsip universal, bukan parsial (di kutip langsung dari website resmi PSI). 

Yang juga cukup menarik adalah hampir seluruh anggota bahkan pengurus elit PSI adalah kaum milenial muda, bahkan ada yang berasal dari kalangan penyanyi band papan atas. Sebut saja Tsamara Amany, yang merupakan Ketua Dewan Pimpinan Pusat "PSI", kemudian ada pula Giring Ganesha alias "Giring Nidji", Mohamad Guntur Romli, dan masih banyak sederetan nama-nama lainnya yang muncul dari kalangan milenial muda, baik di tingkat pengurus maupun anggota.

Yang membuat menarik dari artikel yang saya baca adalah, sang penulis mempertanyakan moto yang sering di gaungkan PSI sebagai partai pembaruan. Ini membuat saya menarik menelaah lebih jauh, sejatinya partai baru adalah partai yang benar-benar menawarkan sesuatu yang baru dari yang sudah ada, dan memiliki ide-ide yang otentik. Namun, bila kita melihat posisi PSI saat ini yang berada di lingkaran kekuasaan, apakah bisa kita sebut sebagai partai yang menawarkan pembaruan? logika berfikir kita adalah jika PSI menempel pada kekuasaan, bukankah PSI akan menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri dan akan melebur di dalam sistem yang sudah ada yang di huni oleh politikus-politikus lama. mengapa saya katakan PSI bisa menjadi bagian dari sistem yang sudah ada, karena saat ini secara terbuka PSI mendukung Bapak Presiden Joko Widodo sebagai presiden di pemilu presiden yang akan datang. Dengan demikian kita bertanya, dimana pembaruan yang di gaungkan PSI? Pertanyaan skeptis ini mungkin bisa jadi bahan renungan kita, dan sikap kritis untuk menilai apakah benar PSI adalah partai yang otentik dan benar-benar mengusung pembaruan.
Secara pribadi, ide-ide segar yang di tawarkan PSI menarik buat saya, dan menilai positif atas gerakan dan ide-ide yang ditawarkan PSI. Namun tetap kita harus skeptis, jangan sampai terjebak dalam diksi-diksi bahasa, namun realitanya di pertanyakan.
Salam.


Referensi tulisan:
https://kumparan.com/antoni-putra/anomali-partai-solidaritas-indonesia-1549861315480341633
https://psi.id/berita/2018/11/16/penjelasan-sikap-psi-tentang-perda-agama/


Sunday, February 10, 2019

Rumput dan Manusia

Secara harfiah dan tata bahasa, tidak ada hubungan antara rumput dan manusia, keduanya adalah entitas yang berbeda. Manusia adalah mahluk mulia, yang diciptakan sempurna oleh Allah, sedangkan rumput adalah hanya ciptaan komplementer atau pelengkap saja yang menunjang kehidupan manusia secara tidak langsung.

Rumput itu memiliki sifat tumbuh yang sementara, dan tidak abadi. Semakin lama rumput akan semakin tinggi dan bentuknya akan semakin tidak beraturan. Jika kita memelihara atau menanam rumput di halaman rumah, maka rumput tersebut akan kita potong secara teratur dan berkala bila sudah panjang dan tidak beraturan. Rumput yang hari ini kita lihat, mungkin besok sudah tidak ada dan berganti dengan rumput-rumput yang lain.

Begitu juga dengan manusia, ada batas kehidupan yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap manusia. Kematian adalah keniscayaan bagi semua mahluk hidup, termasuk manusia. siklus manusia dilahirkan, menjadi dewasa, tua, dan meninggal. Tidak ada yang dapat menghindar dari siklus kehidupan tersebut, apakah seorang raja, rakyat jelata, atau siapapun dia, bagi mahluk hidup seperti manusia, mati adalah sebuah kepastian.

Kembali ke judul tulisan ini, berarti ada kesamaan antara sifat rumput dan manusia yakni sama-sama akan hilang dari muka bumi ini pada saatnya nanti. Rumput yang hari ini ada, besok belum tentu ada, sama dengan manusia.

Suatu saat, saya melihat foto seorang jendral tentara yang terkemuka pada waktu mudanya. Jendral tersebut begitu gagah, di pundaknya bertabur bintang lambang kekuasaan dan pangkat hierarki yang tinggi di militer. Namun saya melihat orang yang sama pada masa tuanya, seorang jendral tentara yang sudah pensiun dan menua. Jalannya nya pun sudah lambat, tidak seperti sewaktu muda begitu gagah dan kelihatan hebat.
Itulah sifat manusia, tidak ada yang abadi termasuk kejayaan, semua akan berlalu pada waktunya.

Daud adalah raja yang di urapi Tuhan, Daud dalam nyanyiannya berkata " manusia itu seperti rumput dan bunga, yang hari ini ada, maka besok sudah tidak ada, bahkan tempatnya pun tidak mengenalinya lagi.

Hidup ini indah dan berharga, namun akan hilang pada waktunya, maka mensyukuri hidup adalah keharusan, karena hidup terlalu singkat untuk di lewati begitu saja.

Salam.

Monday, February 4, 2019

Pemilihan Presiden 2019 dan Media Sosial

Bulan April tanggal 17 tahun 2019 kalau tidak salah akan diadakan pilpres atau pemilihan presiden di Indonesia, agenda tiap lima tahunan bangsa kita untuk memilih pemimpin tertinggi di republik ini. Pemilihan presiden tahun ini menyisakan dua kandidat utama yang akan bersaing untuk menjadi presiden RI yang ke delapan yakni Bapak Joko Widodo dan Bapak Prabowo Subianto sebagai penantang. Riuh pilpres begitu terasa mulai sejak tahun lalu, bahkan sejak pemilihan Gubernur DKI 2017 pun sudah ada aroma persaingan pemilihan presiden.

Perang media sosial pun tidak bisa di elakkan, dua tim kampanye saling serang dan bahkan saling ejek satu sama lain. Lebih banyak hujatan dari pada ide yang ditawarkan, bahkan hujatan yang mengarah pada isu-isu primordial atau politik identitas, seperti agama, suku dan lainnya pun dimainkan. Jika kita membuka media sosial seperti Facebook atau Twitter, maka hampir semua bermuatan politik ataupun aroma pemilihan presiden.

Saya berpendapat bahwa kondisi media sosial saat ini sudah sangat tidak mendidik, dan cenderung memupuk kebencian dan perpecahan. Tidak ada rasa "adem" atau sejuk jika kita membuka media sosial, malah yang ada adalah hawa panas yang sarat kebencian. Bagaimana kalau semua hal negatif itu dilihat oleh anak-anak yang belum bisa berpikir dewasa, kemungkinan besar akan ikut terseret dengan isu-isu perpecahan atau memupuk pikiran-pikiran saling mencela, yang tentu saja sangat berbahaya bagi bangsa yang kita Cintai ini.

Marilah berfikir jernih, lihat sisi baik mana yang paling banyak dari kedua capres, lalu tentukan pilihan. kedua calon presiden adalah putera-putera terbaik bangsa, kita hanya perlu memilih sesuai dengan hati nurani kita dan pertimbangan-pertimbangan akal sehat kita untuk memilih yang terbaik dari kedua calon presiden.
pilihan kita belum tentu pilihan orang lain, jadi tidak perlu memperdebatkan di ruang terbuka yang hanya akan menimbulkan konflik yang tidak produktif bagi bangsa tercinta kita.
Mari isi media sosial dengan hal-hal yang menyejukkan, banyak hal baik selain pilpres yang bisa di tuangkan lewat media sosial.
Salam Pilpres 2019.