Thursday, February 14, 2019

Anomali Partai Solidaritas Indonesia

Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia, Tsamara Amany. Gambar: Tribunenews.com
Tulisan ini saya buat setelah saya membaca sebuah artikel yang membahas Partai Solidaritas Indonesia selanjutnya saya sebut "PSI" sebagai partai baru yang menawarkan pembaruan dalam sistem perpolitikan di Indonesia, penulisnya juga mempertanyakan apakah benar PSI adalah benar-benar mengusung pembaharuan di dalam perpolitikan Indonesia.

Partai Solidaritas Indonesia kini sedang ramai di perbincangkan di berbagai media, mungkin bisa disebut sebagai "media darling" di beberapa arus utama media dan sosial media. Selain karena partai baru yang mengusung pembaruan, partai ini juga sempat memunculkan ide-ide yang cukup kontroversial di kancah perpolitikan Indonesia, sebut saja salah satu pidato Ketua 'PSI" Grace Natalie yang mencetuskan ide larangan berpoligami dan juga larangan mengenai perda agama, dimana hukum yang mengatur kehidupan bersama harus didasarkan pada prinsip universal, bukan parsial (di kutip langsung dari website resmi PSI). 

Yang juga cukup menarik adalah hampir seluruh anggota bahkan pengurus elit PSI adalah kaum milenial muda, bahkan ada yang berasal dari kalangan penyanyi band papan atas. Sebut saja Tsamara Amany, yang merupakan Ketua Dewan Pimpinan Pusat "PSI", kemudian ada pula Giring Ganesha alias "Giring Nidji", Mohamad Guntur Romli, dan masih banyak sederetan nama-nama lainnya yang muncul dari kalangan milenial muda, baik di tingkat pengurus maupun anggota.

Yang membuat menarik dari artikel yang saya baca adalah, sang penulis mempertanyakan moto yang sering di gaungkan PSI sebagai partai pembaruan. Ini membuat saya menarik menelaah lebih jauh, sejatinya partai baru adalah partai yang benar-benar menawarkan sesuatu yang baru dari yang sudah ada, dan memiliki ide-ide yang otentik. Namun, bila kita melihat posisi PSI saat ini yang berada di lingkaran kekuasaan, apakah bisa kita sebut sebagai partai yang menawarkan pembaruan? logika berfikir kita adalah jika PSI menempel pada kekuasaan, bukankah PSI akan menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri dan akan melebur di dalam sistem yang sudah ada yang di huni oleh politikus-politikus lama. mengapa saya katakan PSI bisa menjadi bagian dari sistem yang sudah ada, karena saat ini secara terbuka PSI mendukung Bapak Presiden Joko Widodo sebagai presiden di pemilu presiden yang akan datang. Dengan demikian kita bertanya, dimana pembaruan yang di gaungkan PSI? Pertanyaan skeptis ini mungkin bisa jadi bahan renungan kita, dan sikap kritis untuk menilai apakah benar PSI adalah partai yang otentik dan benar-benar mengusung pembaruan.
Secara pribadi, ide-ide segar yang di tawarkan PSI menarik buat saya, dan menilai positif atas gerakan dan ide-ide yang ditawarkan PSI. Namun tetap kita harus skeptis, jangan sampai terjebak dalam diksi-diksi bahasa, namun realitanya di pertanyakan.
Salam.


Referensi tulisan:
https://kumparan.com/antoni-putra/anomali-partai-solidaritas-indonesia-1549861315480341633
https://psi.id/berita/2018/11/16/penjelasan-sikap-psi-tentang-perda-agama/


Sunday, February 10, 2019

Rumput dan Manusia

Secara harfiah dan tata bahasa, tidak ada hubungan antara rumput dan manusia, keduanya adalah entitas yang berbeda. Manusia adalah mahluk mulia, yang diciptakan sempurna oleh Allah, sedangkan rumput adalah hanya ciptaan komplementer atau pelengkap saja yang menunjang kehidupan manusia secara tidak langsung.

Rumput itu memiliki sifat tumbuh yang sementara, dan tidak abadi. Semakin lama rumput akan semakin tinggi dan bentuknya akan semakin tidak beraturan. Jika kita memelihara atau menanam rumput di halaman rumah, maka rumput tersebut akan kita potong secara teratur dan berkala bila sudah panjang dan tidak beraturan. Rumput yang hari ini kita lihat, mungkin besok sudah tidak ada dan berganti dengan rumput-rumput yang lain.

Begitu juga dengan manusia, ada batas kehidupan yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap manusia. Kematian adalah keniscayaan bagi semua mahluk hidup, termasuk manusia. siklus manusia dilahirkan, menjadi dewasa, tua, dan meninggal. Tidak ada yang dapat menghindar dari siklus kehidupan tersebut, apakah seorang raja, rakyat jelata, atau siapapun dia, bagi mahluk hidup seperti manusia, mati adalah sebuah kepastian.

Kembali ke judul tulisan ini, berarti ada kesamaan antara sifat rumput dan manusia yakni sama-sama akan hilang dari muka bumi ini pada saatnya nanti. Rumput yang hari ini ada, besok belum tentu ada, sama dengan manusia.

Suatu saat, saya melihat foto seorang jendral tentara yang terkemuka pada waktu mudanya. Jendral tersebut begitu gagah, di pundaknya bertabur bintang lambang kekuasaan dan pangkat hierarki yang tinggi di militer. Namun saya melihat orang yang sama pada masa tuanya, seorang jendral tentara yang sudah pensiun dan menua. Jalannya nya pun sudah lambat, tidak seperti sewaktu muda begitu gagah dan kelihatan hebat.
Itulah sifat manusia, tidak ada yang abadi termasuk kejayaan, semua akan berlalu pada waktunya.

Daud adalah raja yang di urapi Tuhan, Daud dalam nyanyiannya berkata " manusia itu seperti rumput dan bunga, yang hari ini ada, maka besok sudah tidak ada, bahkan tempatnya pun tidak mengenalinya lagi.

Hidup ini indah dan berharga, namun akan hilang pada waktunya, maka mensyukuri hidup adalah keharusan, karena hidup terlalu singkat untuk di lewati begitu saja.

Salam.

Monday, February 4, 2019

Pemilihan Presiden 2019 dan Media Sosial

Bulan April tanggal 17 tahun 2019 kalau tidak salah akan diadakan pilpres atau pemilihan presiden di Indonesia, agenda tiap lima tahunan bangsa kita untuk memilih pemimpin tertinggi di republik ini. Pemilihan presiden tahun ini menyisakan dua kandidat utama yang akan bersaing untuk menjadi presiden RI yang ke delapan yakni Bapak Joko Widodo dan Bapak Prabowo Subianto sebagai penantang. Riuh pilpres begitu terasa mulai sejak tahun lalu, bahkan sejak pemilihan Gubernur DKI 2017 pun sudah ada aroma persaingan pemilihan presiden.

Perang media sosial pun tidak bisa di elakkan, dua tim kampanye saling serang dan bahkan saling ejek satu sama lain. Lebih banyak hujatan dari pada ide yang ditawarkan, bahkan hujatan yang mengarah pada isu-isu primordial atau politik identitas, seperti agama, suku dan lainnya pun dimainkan. Jika kita membuka media sosial seperti Facebook atau Twitter, maka hampir semua bermuatan politik ataupun aroma pemilihan presiden.

Saya berpendapat bahwa kondisi media sosial saat ini sudah sangat tidak mendidik, dan cenderung memupuk kebencian dan perpecahan. Tidak ada rasa "adem" atau sejuk jika kita membuka media sosial, malah yang ada adalah hawa panas yang sarat kebencian. Bagaimana kalau semua hal negatif itu dilihat oleh anak-anak yang belum bisa berpikir dewasa, kemungkinan besar akan ikut terseret dengan isu-isu perpecahan atau memupuk pikiran-pikiran saling mencela, yang tentu saja sangat berbahaya bagi bangsa yang kita Cintai ini.

Marilah berfikir jernih, lihat sisi baik mana yang paling banyak dari kedua capres, lalu tentukan pilihan. kedua calon presiden adalah putera-putera terbaik bangsa, kita hanya perlu memilih sesuai dengan hati nurani kita dan pertimbangan-pertimbangan akal sehat kita untuk memilih yang terbaik dari kedua calon presiden.
pilihan kita belum tentu pilihan orang lain, jadi tidak perlu memperdebatkan di ruang terbuka yang hanya akan menimbulkan konflik yang tidak produktif bagi bangsa tercinta kita.
Mari isi media sosial dengan hal-hal yang menyejukkan, banyak hal baik selain pilpres yang bisa di tuangkan lewat media sosial.
Salam Pilpres 2019.