Thursday, October 31, 2013

Don't Judge a Book From It's Cover

Jangan menilai sesuatu dari penampilannya saja, itulah kira-kira terjemahan dari judul tulisan ini. Pepatah tersebut benar-benar terbukti ketika saya sedang berada di sebuah toko sepatu di Pondok Labu. Seorang lelaki tua masuk ke toko dengan pakaian lusuh, berwarna hitam dan tanpa menggunakan alas kaki. Tanpa ada perasaan minder, dan penuh keyakinan lelaki tua itu memasuki toko bak seorang panglima perang. Lelaki tua itu sebenarnya ingin menukar sepatu yang telah di beli beberapa hari sebelumnya untuk anaknya yang duduk dikelas 2 SMK. Karena ukuran dan warna yang tidak sesuai dengan permintaan sang anak tersebut, maka sang kakek tua itu harus kembali ke toko untuk menukar sepatu itu. Namun sayang seribu sayang, karena jenis sepatu yang diinginkan sang anak harganya lebih mahal, sang pramuniaga mengatakan tidak bisa di ganti dengan speck dan harga yang berbeda. "Kalau mau bapak beli satu lagi" begitulah kalimat dari sang pramuniaga tersebut. Tanpa pikir panjang, pak tua tersebut langsung menuju lorong sepatu yang diinginkannya dan menunjuk dengan penuh keyakinan, "itu yang saya mau, sepatu warna hitam dengan tali!"begitulah kira-kira kalimatnya. Lalu ia membawa dua pasang sepatu yang ia beli dengan rasa bangga, sebelum pergi bapak tersebut menyalami semua pramuniaga yang ada disitu, termasuk menyalami saya juga. Kocak dan membuat kita tersenyum pada saat itu. Diam-diam saya mengabadikan moment langka tersebut dan memfoto pak tua itu.

Sang kakek yang sedang bingung memilih sepatu untuk anaknya.

Saya terenyuh dan simpati dengan bapak tua itu, demi keinginan anaknya ia rela merogoh kocek yang tidak sedikit. Saya tidak iba dengan bapak tua tersebut, karena ia bukanlah orang miskin, ia orang yang "kaya" demi anaknya yang membutuhkan sepatu. 

Wajah lusuh, pakaian lusuh, dan tanpa alas kaki memasuki toko, siapa sangka ia membeli dua pasang sepatu demi sang anak. Orang yang "kelihatannya miskin" tetapi berhati mulia dan "kaya". 
Coba lihat di dalam gedung-gedung pencakar langit, orang-orang dengan pakaian berdasi, dan wangi parfum semerbak diseluruh tubuhnya. Orang-orang yang berpendidikan tinggi dan memiliki kedudukan tinggi tega mengambil hak orang lain, tega menindas orang kecil dengan melakukan korupsi dan dan tidak terpuji yang merugikan orang lain.

Saya belajar dari sang kakek tua tersebut beberapa hal:
1. Menilai orang bukanlah menilai dari luar nya saja, bahasa kerennya don't judge a book from it's cover.
2. Apapun yang kita miliki berbanggalah! pak tua tersebut berpakaian lusuh, tanpa alas kaki, tapi wajahnya tegak berdiri tanpa rasa minder sedikitpun.
3. Belajar bukan hanya dari buku-buku tebal di bangku kuliah, dan dari profesor -profesor saja, tetapi sering kali Tuhan memberikan kita ilmu dan pelajaran dari orang yang pendidikannya lebih rendah dari kita, dan orang kecil yang dikucilkan dunia ini, sebuah pelajaran dari Tuhan untuk kita yang merasa hebat.
4. Siapapun kita, belajarlah dari semua orang!

Sekian dan terima kasih.

Salam musim hujan!

Sunday, October 13, 2013

Malala Yousafzai, a little teacher

Malala Yousafzai (www.canadian progressiveworld.com)


Nama Malala menjadi nama yang sangat populer saat ini yang menghiasi berbagai media masa di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Malala dijadikan simbol perlawanan terhadap penindasan hak dan martabat kaum wanita, terutama hak mendapatkan pendidikan. Perjuangan dan tulisan-tulisannya membuat gerah pihak Taliban yang tidak suka dengan aktivitas Malala, puncaknya dia di tembak di bagian kepala saat menaiki sebuah bis di Pakistan. Nyawanya pun dapat diselamatkan setelah mendapatkan perawatan intensif di Inggris, kini Malala telah pulih dan siap melanjutkan perjuangannya untuk membela kaumnnya mendapatkan hak untuk mendapatkan pendidikan. Respon positif dari warga dunia, membuat Malala mendapatkan berbagai penghargaan bergengsi seperti Sakharov Prize, penghargaan tertinggi di bidang hak asasi manusia dan kebebasan berpikir dari Uni Eropa, ia juga menerima Reach All Women in War (RAW), Anna Politkovskaya Award 2013, hadiah perdamaian anak internasional, The Oklahoma City Memorial and Museum di AS, dan berbagai penghargaan lainnya yang ia terima (kompas.com).

Melihat perjuangan wanita cilik berumur 16 tahun ini, saya begitu terkesan dan begitu tidak percaya ketika membaca riwayat Malala dan perjuangannya yang sangat luar biasa di sebuah negara Pakistan yang masih dilanda perang saudara antar pihak pemerintah dan opisisi, bahkan antar ras. Tidak bermaksud untuk melebih-lebihkan alias hiperbola, saya  merasa malu sendiri dan menjadi refleksi buat diri sendiri yang sampai detik ini belum melakukan sesuatu yang berarti bahkan untuk diri sendiri, keluarga, dan orang lain.

Indonesia juga memiliki pejuang wanita yang hebat seperti R.A. Kartini, seorang wanita berpendidikan dan putri seorang bangsawan yang mendobrak mitos dan budaya patrenalisme Jawa pada masa itu, yang melarang wanita untuk bersekolah dan memiliki hak yang sama dengan pria. Perjuangan ditengah keterbatasannya tidak membuatnya ciut bahkan menjadi pemicu untuk terus berjuang dan berkarya. Kini, perjuangan sang Kartini pun sudah dinikmati jutaan kaum wanita dinegeri ini, dan tetap menjadi sebuah simbol pergerakan perjuangan kesetaraaan wanita dan pria.

Malala Yousafzai dan R.A.Kartini adalah dua wanita yang bergerak menembus batas tantangan, hambatan, yang hanya bermodalkan ide dan niat baik, serta kerelaan berkorban untuk sebuah tujuan mulia yaitu membebaskan kaumnya dari belenggu perbudakan primordial.

Cerita diatas merupakan refleksi buat saya, dan mungkin kita semua untuk berjuang melawan segala tantangan yang menghambat kita untuk maju. Keterbatasan bukanlah sebuah alasan untuk melangkah kedepan. Malala bukanlah wanita super yang kuliah di Harvard Business School, bukan pula wanita yang dilatih oleh pasukan khusus untuk mempertahankan diri dari serangan kaum milisi, tetapi ia memulai tujuan besarnya dengan langkah kecil, yaitu mengajar...

Salam.











Friday, October 4, 2013

Plak....! Lalu Ku Tampar.

Itulah yang terjadi ketika seorang wartawan bertanya kepada Akil Mochtar, seorang tersangka kasus korupsi dan seorang Ketua Mahkama Konstitusi (MK). Pertanyaan wartawan yang membuat Pak Akil marah besar yakni "Apakah Bapak siap untuk potong jari jika bapak terbukti bersalah"? (kompas.com), alih-alih mendapatkan jawaban, wartawan tersebut justru mendapatkan cap lima jari alias tamparan dari Pak Akil, Plak....!begitu kira-kira bunyinya jika dibayangkan. Sebagai informasi, ketika menjadi juru bicara MK, Akil Mochtar pernah mengusulkan pemiskinan koruptor dan juga potong jari koruptor jika bersalah.
Akil Mochtar tampar wartawan (detik.com)
Sebagai orang Indonesia, saya sudah tidak kaget lagi dengan berita pejabat negara ditangkap KPK karena korupsi, basi cuy...! tiap hari kaleeee hehehe. Ya itulah cerminan negeri yang saat ini sedang berusaha menata kehidupannya dengan perbaikan di berbagai sektor. Disaat sebagian kecil pejabat yang masih jujur berusaha untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa ini, ada sebagian besar pejabat yang justru melakukan perusakan dari dalam, seperti korupsi yang sedang menjamur di negeri ini.
Disaat sebagian besar warga Miskin Indonesia berjuang untuk makan, minum, dan menyekolahkan anak-anaknya, malah ada pejabat yang tega melakukan korupsi untuk memperkaya diri sendiri.

Ketika saya mendapat pelatihan sales staff di beberapa mall di Jakarta, saya sering melihat orang tua yang membeli sepatu anak-anaknya dengan biaya bantuan pemerintah atau KJP (kalau tidak salah kartu jaminan pendidikan). Miris juga y, melihat orang tua untuk membeli sepatu anaknya saja yang paling mahal harganya Rp.200.000, harus pakai KJP. Bagaimana dengan pejabat yang tidak pernah bersinggungan dengan KJP? yang bisa menyekolahkan  anak-anaknya keluar negeri, yang tentu saja beli sepatu anaknya tidak pakai KJP.

Saya sangat yakin bahwa siapapun kita, sebagai manusia ciptaan Tuhan, tidak akan luput dari hukuman Tuhan, gak ada obatnya, jika hukuman Tuhan sudah murka. Ironis sekali melihat pejabat yang tadinya jadi penghukum orang bersalah, malah jadi orang yang dihukum.

Sebuah ironi, dan simbol dari sebuah jaman yang mengalami dekadensi moral ditengah peradaban manusia yang berkembang pesat.

Salam.