Sunday, July 7, 2013

Pers Dahulu dan Sekarang


Sumber: Google Image

Pers sebagai sebuah media pada dasarnya berfungsi sebagai alat penerangan atau informasi kepada masyarakat tanpa berpihak atau menutup-nutupi informasi yang di dapat. Pada masa perjuangan kemerdekaan, pers dengan media seperti surat kabar yang berfungsi sebagai alat perjuangan kaum intelektual untuk mengobarkan semangat kemerdekaan kepada masyarakat luas. Pers digunakan sebagai penyambung lidah rakyat untuk menyampaikan kritik dan ide kemerdekaan yang di tujukan kepada pemerintah Belanda. Tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno, Moh.Hatta, H. Agus Salim, dll yang menjadi motor pergerakan kemerdekaan kala itu, sering menulis ide-ide perjuangan mereka pada surat kabar resmi kala itu. Akibat dari tulisan-tulisan mereka yang dianggap menghasut, mereka menjadi sasaran pemerintah Belanda dan terpaksa di asingkan ke pulau terpencil agar tidak membuat tulisan yang menghasut atau propoganda yang dapat membahayakan keberadaan kaum penjajah Belanda.
Dengan kata lain, media saat itu dijadikan sebagai alat propoganda dan alat perjuangan untuk menggerakkan massa dan menyadarkan bangsa agar tidak menjadi bangsa terjajah. Fungsi pers saat itu adalah sebagai penyambung lidah rakyat dan alat perjuangan yang bertujuan sangat mulia untuk melepaskan diri dari kebodohan dan belenggu penindasan penguasa.

Bagaimana dengan fungsi pers saat ini? Pers telah menjadi sebuah industri yang menggiurkan dan menguntungkan bagi pemilik modal. Lihat saja, beberapa stasiun TV dan media cetak telah dikuasai oleh beberapa pemilik modal dan membentuk sebuah kartel berita. Bahkan, satu pemilik modal bisa memiliki beberapa stasiun TV nasional.
Bagi mereka, media sudah menjadi industri yang menguntungkan bukan hanya sebagai alat untuk mendulang keuntungan, tetapi juga sebagai alat untuk menyebarkan pengaruh atau membentuk opini publik.

Tidak percaya? lihat beberapa dari pemilik modal TV tersebut yang membuat semacam opini publik dengan membuat pidato-pidato agar mempengaruhi masyarakat luas untuk membentuk citra positif mereka. Tujuannya jelas untuk menuju kursi kekuasaan, karena sebagian dari mereka menjadi calon presiden di pemilu yang akan datang. Pers yang seharusnya jujur dan lugas tanpa memihak, justru dijadikan alat politik oleh sang pemilik modal. Yang terjadi sekarang adalah perang media di mana-mana, wajah-wajah sang pemilik modal menjadi artis dadakan, dan masyarakat dipaksa untuk menyaksikan wajah-wajah tersebut, sungguh membosankan dan menjemukan. Bukankah lebih baik menyaksikan Julia peres atau artis seksi di TV dari pada pidato mereka yang menjemukan itu.

Itulah perbedaan pers jaman kolonial Belanda dan saat ini, tanpa mengecilkan insan pers termasuk wartawan yang memiliki dedikasi tinggi untuk menyajikan berita yang berkualitas. Kehadiran pemilik modal yang menggunakan media sebagai alat politik untuk kepentingan pribadi sungguh berbahaya. Berbeda dengan pers jaman perjuangan dahulu, yakni bertujuan untuk kepentingan rakyat banyak agar lepas dari belenggu penjajahan, dan bukan untuk tujuan pribadi atau golongan tertentu.

Selamat menyaksikan perang pemilik modal di TV, selamat meyaksikan kampanye-kampanye yang hambar demi 2014.

Salam pemilu 2014.



Monday, July 1, 2013

Perjuangan Hidup Sang Pramuniaga

Training pramuniaga di toko sepatu BATA

Saya bekerja sebagai Management Trainee di sebuah perusahaan retail salah satu perusahaan asing asal Swiss. Pada suatu hari saya ditempatkan di salah satu shoe store yang terletak di sebuah mall di Cilandak, Jakarta selatan. Di toko tersebut ada lima orang karyawan, dan satu orang retail dealer atau yang biasa disebut store manager.
ketika saya ditugaskan selama tiga hari di toko tersebut, beberapa pramuniaga mengungkapkan isi hati nya kepada saya, atau curhat-curhatan. Pramu niaga tersebut mengatakan bahwa perlakuan dari sang store manager kurang mengenakkan terhadap para pramuniaga. Beberapa contoh nya adalah beban kerja yang berlebihan namun tidak diberikan insentif yang layak. Secara struktural memang para pramuniaga tidak masuk dalam jajaran karyawan tempat saya bekerja, namun para pramuniaga tersebut langsung di rekrut oleh sang retail dealer tersebut. Semua gaji, dan fasilitas yang menjadi hak pramuniaga menjadi tanggung jawab sang retail dealer dan bukan perusahaan tempat saya bekerja.

Selama tiga hari saya berada di tempat tersebut, saya turut merasakan bagaimana sulitnya menjadi pramuniaga. Mulai dari beban kerja yang panjang, yakni masuk pukul 10.00 pagi hingga pukul 10.00 malam. Mereka harus bersikap ramah, dan help full terhadap customer yang datang. Rasa bosan yang saya rasakan karena harus berdiri di toko selama berjam -jam membuat saya merasakan beban mereka. Ya, mereka berjuang untuk keluarga, dan diri sendiri.
Rata-Rata mereka berusia 20-25 tahun, hanya satu orang yang sudah berkeluarga berusia sekitar 35 tahun.

Berada di toko selama tiga hari, membuat saya merasakan perjuangan mereka, dan betapa gigihnya mereka berjuang untuk keluarga mereka. Sejak saat itu saya mulai bersikap untuk tidak sekali-sekali meremehkan pekerjaan mereka sebagai pramu niaga.
Mereka pun berharap kepada saya untuk membuat laporan ke pihak management tentang keadaan ini. Saya pun berusaha membuat mereka sedikit lega, dengan sedikit memberikan nasehat dan menjanjikan akan memberikan feed back terhadap kondisi mereka ke pihak management.
Hidup memang keras, dan ada rasa syukur di hati saya karena saya tidak bernasip seperti mereka, sekaligus sedih karena perjuangan mereka yang begitu luar biasa.
Semoga kita tidak mengangkap remeh setiap profesi, dan selalu menghargai profesi apapun, karena manusia tidak diukur dari tingginya jabatan, tingginya gelar atau pangkat, melainkan seberapa besar kita berguna bagi orang lain.
Bravo pramuniaga!

Salam.