Sunday, April 28, 2013

Jakarta Jaman Dahulu


Jika kita membayangkan Jakarta jaman dahulu, maka kita akan di buai dengan keindahan dan nostalgia masa itu. Walaupun saya tidak lahir di jaman itu, tapi imajinasi, dan khayalan kita di bawa ke masa itu. Kita dihanyutkan oleh keadaan, kepolosan, dan kealamian kota Jakarta kala itu.

Kalau saja ada mesin waktu nya Doraemon, saya ingin kembali ke jaman itu, merasakan Jakarta tempo dulu yang polos, dan alami, jauh dari kesan kotor, sembrawut dan banyak kemunafikan seperti saat ini.

Marilah kita sejenak berimajinasi dengan melihat foto-foto Jakarta masa lalu. Berikut fotonya:
Jl. Merdeka Barat-Thamrin thn.1950

Masjid Al-Azhar, bagian depannya masih kosong.

Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta

Suasana di Jl.Jend.Sudirman dgn bus tingkatnya, gedung ini msh ada sampai  sekarang

Patung Pancoran, masih belum ada fly over

Pasar Senen, terlihat masih sepi

President Taxi, taxi jaman dulu, dgn penumpang segambreng

Hayam Wuruk thn.1948

Gadjah Mada thn.1950

Harmoni, 1954

Djati Negara, 1955

Menteng Raya, 1955


Tanah Abang, 1955

Gedung Kesenian

Katedral, 1880

Sumber foto : Blogdetik.com

Sunday, April 7, 2013

Esensi Perubahan Kurikulum (Repost)

Minggu lalu (31 Maret 2013), saya memposting sebuah artikel di Kompasiana  yang judulnya Esensi Perubahan Kurikulum. Artikel ini disambut baik oleh para pembaca Kompasiana, dan di recommend di beberapa jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, artikel ini pun sempat nangkring di highlight nya kompasiana sebagai artikel menarik dan aktual. Berikut saya tampilkan kembali artikel tersebut, semoga bermanfaat bagi pembaca.
                                                                
                                                                      *****


Kurikulum didefinisikan sebagai perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara yang berisi rancangan pelajaran yang didalamnya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum hendaknya dirancang sesuai dengan kultur dan cita-cita nasional yang pada akhirnya menciptakan generasi-generasi yang cerdas, humanis dan berakhlak mulia.

Di Indonesia, kurikulum selalu berganti dari tahun ke tahun, dari menteri ke menteri yang pada akhirnya memusingkan guru, dan para siswa itu sendiri, dan itu masih terus terjadi sampai saat ini. Menurut saya, mengganti kurikulum adalah perkara mudah, cukup sediakan budget untuk rapat, siapkan ahli-ahli pendidikan, dan cetak buku-buku baru, mudah bukan! Tapi esensi dari pendidikan bukanlah seberapa canggih kurikulum itu dibuat, seberapa menyulitkan kurikulum itu dibuat, dan juga bukan seberapa pusingnya siswa dibuat oleh kurikulum tersubut, melainkan seberapa efektif dan efisien kurikulum itu dibuat, sehingga menciptakan generasi-generasi yang cerdas, humanis, anti korupsi, dan kreatif dan inovatif.

Di tahun 1990 an kita mengenal kurikulum cara belajar siswa aktif (CBSA), di tahun 2004 kita di kenali lagi dengan istilah kurikulum berbasis kompetensi, kemudian ditahun 2006 lagi-lagi kita di cekoki dengan kurikulum baru yakni kurikulum tingkat satuan pendidikan. Mungkin ada beberapa guru yang mengalami semua kurikulum tersebut, dan orang tersebut pastilah sudah jadi “dewa kurikulum nasional”.

Buat saya, siswa, guru, dan ahli-ahli pendidikan yang sering bicara di TV-TV nasional perlu dilibatkan dalam merancang kurikulum nasional. Bukan hanya pemerintah, dalam hal ini departemen pendidikan saja yang selalu memiliki hak prerogratif untuk merubah kurikulum tanpa melibatkan secara aktif semua stakeholder didalamnya.
Sekali lagi, bukankah menciptakan guru-guru berkualitas lebih penting dari pada mengganti kurikulum, bukankah membangun sekolah dengan fasilitas baik lebih penting, bukankah membuat pendidikan yang berkualitas dan dapat dirasakan oleh semua rakyat dari Aceh sampai Papua juga lebih penting dari pada sibuk gonta ganti kurikulum.


Berhentilah hanya berfikir kuantitafif semata, cobalah berfikir lebih substantif dan kualitatif dengan menciptakan pendidikan yang tangguh tanpa harus gonta ganti kurikulum semata.
Ada kelakar mengatakan kurikulum yang baik adalah kurikulum yang memusingkan siswa, sehingga siswa takut pergi kesekolah, semoga saja ini tidak terjadi.
Tan Malaka tidak mengenyam pendidikan,
Pramoediya Ananta Toer sekolahnya tidak tinggi sampai kuliah, tapi karyanya diakui dunia…


Salam Kurikulum…